SEJARAH REOG PONOROGO
Reog
merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang masih terjaga eksistensinya
hingga kini. Kesenian tradisional ini memiliki unsur mistik dan ilmu kebatinan
yang kuat. Hal tersebut menjadikan daya tarik tersebdiri. Sedangkan Ponorogo
merupakan kota yang dianggap sebagai asal kesenian Reog. Pada gerbang kota
Ponorogo, terdapat sosok Warok dan Gemblak yang merupakan dua sosok tokoh
kesenian Reog yang selalu tampil pada saat pertunjukkan berlangsung.
Menurut legenda Reog
atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin
menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering
tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh
sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit
macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak.
Sang prabu dilambangkan sebagai
harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri.
Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan
pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti
mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo
sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat.
Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk
mengembangkan kekuasaannya.
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).
Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).
Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo
mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana
Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang
setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi
Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila
sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah
Reog Ponorogo. Huruf-huruf reog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam
tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/
Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur
mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog
Ponorogo.
Dan berikut lebih alur cerita agar lebih
jelasnya alkisah, Raja Kerajaan Daha Kediri cari menantu untuk putrinya yang
paling cantik, yaitu Dewi Sanggalangit, yang kecantikannya sudah terkenal ke
seantero jagat. Kabar ini pun terdengar sampai ke telinga Prabu Klana Sewandana
yang berkuasa atas Kerajaan Bantarangin, konon, terletak di timur Gunung Lawu
sebelah barat Gunung Wilis, daerah Ponorogo saat ini. Sang Prabu terkenal
berwajah tampan serta sakti ini segera memerintahkan Pujangganong, Patih
kepercayaannya. Maka, pergilah Pujangganong ke Kerajaan Kediri.
Di hadapan Kerajaan Kediri, Pujangganong menyampaikan maksud kedatangannya. "Hamba utusan Prabu Klana Sewandana, Raja Kerajaan Bantarangin, yang dengan ini bermaksud meminang Dewi Sanggalangit," tukas Pujangganong kepada Raja Kediri.
"Perkara pernikahan putriku Sanggalangit, tidak berhak ditentukan atas titahku. Aku hanya merestui apa yang menjadi keinginannya. Silakan, kau tanyakan sendiri padanya langsung. Pengawal, suruh kemari Sanggalangit!"
Dewi Sanggalangit pun datang. Ia tampak sedikit terkejut dengan kedatangan Pujangganong. Menurut tebakannya, Pujangganong hendak melamarnya sebagai buah promosi ayahnya mencari pendamping. Tanpa ditanya ulang, Dewi Sanggalangit mengajukan tiga syarat. Pertama, calon pengantin pria diharuskan berjalan melalui terowongan bawah tanah. Kedua, calon pengantin pria diharuskan menyuguhkan kesenian yang belum pernah dipentaskan di mana-mana. Ketiga, calon pengantin pria diharuskan membawa hewan berkepala dua, apapun itu.
Tanpa komplain soal syarat yang diajukan, Pujangganong langsung menyanggupi ketiga syarat yang diajukan Dewi Sanggalangit. Ia pun pulang ke Kerajaan Bantarangin untuk melapor kepada Prabu Klana Sewandana. Setelah menerima laporan dari patihnya, Sang Prabu pun tidak juga komplain. Ia langsung menyetujui syarat itu. Dan ia melakukan persiapan-persiapan untuk melamar Dewi Sanggalangit.
Di hadapan Kerajaan Kediri, Pujangganong menyampaikan maksud kedatangannya. "Hamba utusan Prabu Klana Sewandana, Raja Kerajaan Bantarangin, yang dengan ini bermaksud meminang Dewi Sanggalangit," tukas Pujangganong kepada Raja Kediri.
"Perkara pernikahan putriku Sanggalangit, tidak berhak ditentukan atas titahku. Aku hanya merestui apa yang menjadi keinginannya. Silakan, kau tanyakan sendiri padanya langsung. Pengawal, suruh kemari Sanggalangit!"
Dewi Sanggalangit pun datang. Ia tampak sedikit terkejut dengan kedatangan Pujangganong. Menurut tebakannya, Pujangganong hendak melamarnya sebagai buah promosi ayahnya mencari pendamping. Tanpa ditanya ulang, Dewi Sanggalangit mengajukan tiga syarat. Pertama, calon pengantin pria diharuskan berjalan melalui terowongan bawah tanah. Kedua, calon pengantin pria diharuskan menyuguhkan kesenian yang belum pernah dipentaskan di mana-mana. Ketiga, calon pengantin pria diharuskan membawa hewan berkepala dua, apapun itu.
Tanpa komplain soal syarat yang diajukan, Pujangganong langsung menyanggupi ketiga syarat yang diajukan Dewi Sanggalangit. Ia pun pulang ke Kerajaan Bantarangin untuk melapor kepada Prabu Klana Sewandana. Setelah menerima laporan dari patihnya, Sang Prabu pun tidak juga komplain. Ia langsung menyetujui syarat itu. Dan ia melakukan persiapan-persiapan untuk melamar Dewi Sanggalangit.
Singobarong Tidak Ingin Ketinggalan
Melamar Dewi Sanggalangit
Kecantikan Dewi Sanggalangit sudah
terkenal ke seantero Nusantara. Ketika Raja Kediri mengumumkan mencari menantu
untuk putrinya, bukan hanya Prabu Klana Sewandana saja yang hendak melamar.
Dikisahkan bahwa Raja Kerajaan Lodaya bernama Singobarong juga memiliki niat yang sama. Tapi, ia telat, karena Dewi Sanggalangit sudah keburu hendak dilamar Prabu Klana Sewandana. Untuk itu, sewaktu hari lamaran tiba, Singobarong mencoba menggagalkannya.
Bersama pasukannya, Singobarong mencegat rombongan Prabu Klana Sewandana di jalan. Terjadilah pertempuran sengit. Berbekal ilmu kanuragan mengubah bentuk, Singobarong mengubah dirinya menjadi seekor harimau. Raungan dan terkaman dari harimau jadi-jadian itu sangatlah mengerikan. Namun, kemenangan tidaklah ditentukan dari seberapa kuat kesaktian yang dimiliki oleh petarung, strategi serta taktik juga diperlukan. Prabu Klana tidak cuma pandai bersilat. Namun, juga pandai bertaktik.
Sang Prabu rupa-rupanya mengetahui kelemahan Singobarong saat menjadi harimau adalah kutu-kutu di kepalanya. Dikeluarkanlah, seekor burung merak kesayangan miliknya untuk memakan kutu-kutu di kepalanya. Akibatnya, Singobarong tidak bisa berkonsentrasi saat bertarung, dan malah menikmati patokan-patokan si burung merak di kepalanya. Sang Prabu tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia mengeluarkan Pecut Samandiman - pecut sakti warisan gurunya - ke arah Singobarang.
"Makanlah pecutku ini, Singobarong. Jadilah kau binatang berkepala dua!" serang Prabu Klana Sewandana seraya memekik.
Seketika, Singobarong melemas. Seluruh kekuatan serta kesaktiannya raib. Ia pun tidak mampu kembali ke wujud manusia. Burung merak yang ada di kepalanya pun tidak bisa terlepas. Dan malah menjadi peliharaan Prabu Klana Sewandana.
Rombongan Prabu Klana Sewandana meneruskan perjalanan menuju Kerajaan Kediri.
Dikisahkan bahwa Raja Kerajaan Lodaya bernama Singobarong juga memiliki niat yang sama. Tapi, ia telat, karena Dewi Sanggalangit sudah keburu hendak dilamar Prabu Klana Sewandana. Untuk itu, sewaktu hari lamaran tiba, Singobarong mencoba menggagalkannya.
Bersama pasukannya, Singobarong mencegat rombongan Prabu Klana Sewandana di jalan. Terjadilah pertempuran sengit. Berbekal ilmu kanuragan mengubah bentuk, Singobarong mengubah dirinya menjadi seekor harimau. Raungan dan terkaman dari harimau jadi-jadian itu sangatlah mengerikan. Namun, kemenangan tidaklah ditentukan dari seberapa kuat kesaktian yang dimiliki oleh petarung, strategi serta taktik juga diperlukan. Prabu Klana tidak cuma pandai bersilat. Namun, juga pandai bertaktik.
Sang Prabu rupa-rupanya mengetahui kelemahan Singobarong saat menjadi harimau adalah kutu-kutu di kepalanya. Dikeluarkanlah, seekor burung merak kesayangan miliknya untuk memakan kutu-kutu di kepalanya. Akibatnya, Singobarong tidak bisa berkonsentrasi saat bertarung, dan malah menikmati patokan-patokan si burung merak di kepalanya. Sang Prabu tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia mengeluarkan Pecut Samandiman - pecut sakti warisan gurunya - ke arah Singobarang.
"Makanlah pecutku ini, Singobarong. Jadilah kau binatang berkepala dua!" serang Prabu Klana Sewandana seraya memekik.
Seketika, Singobarong melemas. Seluruh kekuatan serta kesaktiannya raib. Ia pun tidak mampu kembali ke wujud manusia. Burung merak yang ada di kepalanya pun tidak bisa terlepas. Dan malah menjadi peliharaan Prabu Klana Sewandana.
Rombongan Prabu Klana Sewandana meneruskan perjalanan menuju Kerajaan Kediri.
Pagelaran Binatang Berkepala Dua,
yang Disebut Reog
Sesampainya di Kerajaan Kediri,
Prabu Klana Sewandana berserta rombongan segera menggelar pertunjukan yang
belum pernah ada sebelumnya, yaitu pertunjukan hewan berkepala dua yang
kemudian disebut Reog.
Seselesainya pertunjukan Prabu Klana Sewandana segera menghadap Sang Raja.
"Baginda Raja, hamba telah melakukan semua syarat yang diminta Dewi Sanggalangit, yang Karena itu, bolehkah hamba meneruskan permintaan Patih Pujangganong
"Oh, mengenai perkara itu, saya menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada putriku saja. Karena, ia yang kelak menjalaninya," sahut Dewi Sanggalangit.
Dewi Sanggalangit yang mendapat operan tersebut bingung. "Maaf, Tuan, sebenarnya siapa gerangan yang hendak melamar hamba, Tuan ataukah Pujangganong?"
"Saya-lah yang melamar anda. Beberapa waktu lalu saya telah mengutus Pujangganong untuk melamarkan anda untuk saya," jawab Prabu Klana Sewandana. Mendengar hal tersebut, pipi Dewi Sanggalangit bersemu kemerah-merahan.
Dan begitulah, Prabu Klana Sewandana dan Dewi Sanggalangit akhirnya menikah. Setelah pernikahan, Sang Prabu kemudian memboyong Dewi Sanggalangit ke Kerajaan Bantarangin. Di kerajaan ini, kesenian Reog makin kerap dipentaskan. Setelah Kerajaan Bantarangin berubah menjadi daerah bernama Ponorogo, Reog dikenal dengan sebutan Reog Ponorogo dan terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia.
Seselesainya pertunjukan Prabu Klana Sewandana segera menghadap Sang Raja.
"Baginda Raja, hamba telah melakukan semua syarat yang diminta Dewi Sanggalangit, yang Karena itu, bolehkah hamba meneruskan permintaan Patih Pujangganong
"Oh, mengenai perkara itu, saya menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada putriku saja. Karena, ia yang kelak menjalaninya," sahut Dewi Sanggalangit.
Dewi Sanggalangit yang mendapat operan tersebut bingung. "Maaf, Tuan, sebenarnya siapa gerangan yang hendak melamar hamba, Tuan ataukah Pujangganong?"
"Saya-lah yang melamar anda. Beberapa waktu lalu saya telah mengutus Pujangganong untuk melamarkan anda untuk saya," jawab Prabu Klana Sewandana. Mendengar hal tersebut, pipi Dewi Sanggalangit bersemu kemerah-merahan.
Dan begitulah, Prabu Klana Sewandana dan Dewi Sanggalangit akhirnya menikah. Setelah pernikahan, Sang Prabu kemudian memboyong Dewi Sanggalangit ke Kerajaan Bantarangin. Di kerajaan ini, kesenian Reog makin kerap dipentaskan. Setelah Kerajaan Bantarangin berubah menjadi daerah bernama Ponorogo, Reog dikenal dengan sebutan Reog Ponorogo dan terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia.
Kelono
Sewandono
Bentuk perbantahan tipikal semacam
itu menegaskan bahwa sebenarnya kisah-kisah asal-usul reyog Ponorogo tersebut
merupakan tradisi tutur atau verbal arts. Seperti dikemukakan Richard Bauman
(1977), tradisi lisan sebenarnya kurang menilai penting ‘kebenaran’ hal yang
dinyatakan lewatpenuturan. Bobot pernyataan tidak dinilai berdasarkan kebenaran
yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dengan bukti-bukti empiris.Dengan
kata lain, unsur penutur dan cara penuturannya menjadi lebih penting daripada
kebenaran empirik pernyataannya. Oleh karenanya, permasalahan yang berkembang
mengenai kisah asal-usul Reyog Ponorogo dapat dipahami sebagai persoalan
pengalihan dari wacana lesan menjadi tulisan. Pengalihan tersebut membawa serta
pergeseran dari ‘kebenaran’ diskursif yang dinamis menuju ‘kebenaran’ tekstual
yang statis. Format pertunjukan yang disusun tim kerja bentukan pemerintah
Kabupaten Ponorogo disusun berdasarkan kisah tentang Kelana Sewandana yang
muncul baik dalam versi Bantarangin maupun dalam versi Batara
Katong. Salah satu bentuk ‘pembakuan’ yang problematis adalah kehadiran
tokoh Kelana Sewandana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pertunjukan
Reyog Ponorogo.
Pertunjukan reyog di desa-desa
seringkali tidak menampilkan peran Kelana Sewandana, bahkan banyak kelompok
reyog di wilayah Kabupaten Ponorogo tidak memiliki pemain pemeran tokoh ini.
Hasil wawancara dengan sejumlah praktisi kesenian rakyat ini mengesankan bahwa
sebenarnya bagi kebanyakan kelompok reyog setempat kehadiran Kelana Sewandana
bukan keharusan. Seorang mantan aktivis reyog di desa Sawoo berusia sekitar 70
tahun menuturkan bahwa pada tahun 1950-an kelompoknya kadang-kadang menampilkan
Kelana Sewandana. Dituturkan pula bahwa pemeran Kelana Sewandana desa tersebut
sering menyisipkan tembang jenis palaran dalam pementasan. Namun, ketika
pemeran tersebut meninggal dunia, cukup lama kelompok reyog desa Sawoo tersebut
tidak menampilkan peran raja Bantarangin tersebut. Baru pada akhir tahun
1990-an, setelah di desa Sawoo ada seorang pemuda yang menempuh pendidikan tari
di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, maka kelompok reyog desa
tersebut memiliki pemeran Kelana Sewandana lagi.
Kelangkaan pemeran tokoh Kelana
Sewandana merupakan hal yang lumrah dalam lingkungan kelompok reyog desa di
Ponorogo. Langkanya pemeran Kelana Sewandana sering dijelaskan sebagai akibat
dari tuntutan teknis tari yang tinggi bagi pemeran tokoh ini. Asumsi semacam
ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar pemeran Kelana Sewandana yang
ada di wilayah Kabupaten Ponorogo adalah mereka yang pernah mengenyam
pendidikan tari; baik di pendidikan formal maupun di sanggar-sanggar tari di
dalam atau luar kabupaten. Dewasa ini, meskipun terdapat semakin banyak
orang yang dapat memerankan Kelana Sewandana, kemunculan tokoh raja Bantarangin
ini dalam pertunjukan di desa-desa pun masih relatif jarang. Pengamatan di
lapangan menunjukkan adanya kecenderungan penari pemeran Kelana Sewandana hanya
muncul secara terbatas pada acara-acara tanggapan yang bersifat formal,
misalnya pada acara perkawinan. Pada acara-acara yang bersifat komunal dan
kurang formal, misalnya bersih desa atau kaulan nadar, umumnya tokoh raja
Bantarangin ini tidak ditampilkan.
Bujangganong
Kecantikan Dewi Songgolangit yang
tiada duanya, membuat angan Patih Bujangganong melambung tinggi. Namun Patih
Bujangganong hanya mampu berharap meski harapan tersebut mustahil terjadi
ibarat pungguk merindukan bulan. Sekelumit cerita tersebut digambarkan dalam
Tari Bujangganong Gandrung dari Kabupaten Ponorogo yang mewakili Propinsi Jawa
Timur di ajang Festival Nasional Tari Tradional Indonesia 2008 yang berlangsung
tanggal 4 – 8 Juni 2008 di Jakarta Convention Centre. Dalam festival yang
diikuti peserta dari 30 Provinsi di Indonesia, karya tari Bujangganong Gandrung
meraih 2 Tropy penghargaan bergengsi di tingkat Nasional yaitu sebagai 10 besar
penyaji terbaik dan 5 besar penata musik terbaik.
Dalam penampilan di Jakarta Convention
Centre, Tari Bujangganong Gandrung mendapat sambutan yang luar biasa dari
penonton yang memadati ruang Cendrawasih. Rampak irama gamelan Reyog yang
demikian dahsyat dan gerak tari yang demikian jenaka membuat penonton seakan
tersihir dan sampai pertunjukan berakhir penonton tidak beranjak dari tempat
duduk dan tak henti-hentinya memberikan sambutan yang hangat. Garapan tari
Bujangganong Gandrung ini ditata oleh koreografer Dedy Setya Amijaya SSn dan
Agus Heri Sugianto, SSn dengan penata busana Dimas Pramuka Admaji serta penata
musik Mardji dan Joko Susilo. Adapun penata artistik digarap oleh Surya
Bentrang Jenar dan pelatih tari Purbandari.
Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat
tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual
sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan
spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa
yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati. Warok
adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan
dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom,
sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu.
Hingga saat ini, Warok dipersepsikan
sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan
tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok.Warok adalah sosok dengan
stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan
gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo
Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya.
Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan
perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong
kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi
petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku
wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok
adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada
pengendapan batin).
Syarat
menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku.
“Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang
segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan
perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor
ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah
itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu
kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan
menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat,
serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati
pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok
di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih
dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para
pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Jathilan
Jatilan adalah salah satu jenis
tarian rakyat yang bila ditelusur latar belakang sejarahnya termasuk tarian
yang paling tua di Jawa. Tari yang selalu dilengkapi dengan property berupa
kuda kepang ini lazimnya dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak
sadar diri pada salah seorang penarinya. Penari jatilan dahulu hanya
berjumlah 2 orang tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi
dalam formasi yang berpasangan. Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan
naik kuda dan bersenjatakan pedang. Selain penari berkuda, ada juga penari yang
tidak berkuda tetapi memakai topeng. Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet,
gendruwo dan barongan.
Reog dan jatilan ini fungsinya hanya
sebagai tontonan/hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu
yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan
iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas
nadzar atau midhang kepasar. Perbedaan antara Jatilan dan Reog antara lain
adalah pertama, dalam permainan Jatilan penari kadang-kadang bisa rnencapai
trance, sedangkan pada Reog penari tidak bisa mengalami hal ini. Kedua, pada
Jatilan selama permainan berlangsung digunakan tempat / arena yang tetap.
Pada Reog selain permainannya tidak
menggunakan arena atau tempat yang tetap, juga sering diadakan untuk mengiringi
suatu perjalanan ataupun upacara. Mengenai kapan dan dimana lahirnya dua
jenis kesenian ini orang tidak tahu. Para pemain Jatilan dan Reog hanya
mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang mereka. Orang-orang umumnya
menyatakan bahwa Jatilan dan Reog sudah ada sejak dulu kala. Pendukung
permainan ini tidak tentu jumlahnya tergantung pada banyak sedikitnya anggota.
Meskipun demikian biasanya pendukung tersebut sekitar 35 orang dan terdiri dari
laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4
orang penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami
trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang). Para penari
menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda lumping.
Di antara para penari ada yang
memakai topeng hitam dan putih, bernama Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan
Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang hitam. Kedua tokoh ini berfungsi sebagai
pelawak, penari dan penyanyi untuk menghibur prajurit berkuda yang sedang
beristirahat sesudah perang-perangan. Ketika menari para pemain mengenakan
kostum dan tata rias muka yang realistis. Ada juga group yang kostumnya
non-realistis terutama pada tutup kepala; karena group ini memakai irah-irahan
wayang orang. Pada kostum yang realistis, tutup kepala berupa blangkon
atau iket (udeng) dan para pemain berkacamata gelap, umumnya hitam. Selama itu
ada juga baju/kaos rompi, celana panji, kain, dan stagen dengan timangnya.
Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai trance
(tak sadarkan diri tetapi tetap menari) ada para pemainnya. Sebelum pertunjukan
Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang
berupa dagelan/ lawakan.Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui.Pertunjukan
ini bisa dilakukan pada malam hari, tetapi umumnya diadakan pada siang
hari.Pertunjukan akan berlangsung selama satu hari apabila pertunjukannya
memerlukan waktu 2 jam per babaknya, dan pertunjukan ini terdiri dari 3 babak.
Bagi group yang untuk 1 babak memerlukan waktu 3 jam maka dalam sehari dia
hanya akan main 2 babak.Pada umumnya permainan ini berlangsung dari jam 09.00
sampai jam 17.00, termasuk waktu istirahat. Jika pertunjukan berlangsung pada
malam hari, maka pertunjukan akan dimulai pada jam 20.00 dan berakhir pada jam
01.00 dengan menggunakan lampu petromak. Tempat pertunjukan berbentuk arena
dengan lantai berupa lingkaran dan lurus. Vokal hanya diucapkan oleh Pentul dan
Bejer dalam bentuk dialog dan tembang, sedangkan instrumen yang dipakai adalah
angklung 3 buah, bendhe 3 buah, kepyak setangkep dan sebuah kendang.Peralatan
musik ini diletakkan berdekatan dengan arena pertunjukan.
Jatilan Gaya Baru. Dewasa ini ada
kemajuan dalam kesenian tan Jatilan dengan munculnya Jatilan Gaya Baru di desa
Jiapan, Tempel dan Sleman. Instrumen yang dipakai adalah kendang, bendhe, gong,
gender dan saron. Jadi jenis Jatilan ini sudah tidak memakai angklung lagi.Yang
menarik pada Jatilan ini adalah apabila pemain berada dalam keadaan trance dia
bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dan kalau diperbolehkan dia bisa menunjuk
orang yang telah mengganggu pertunjukan, seandainya gangguan ini memang
terjadi. Sering pula dalam keadaan trance ini pemain meminta sebuah lagu dan
ketika lagu itu dinyanyikan oleh pemain musik ataupun oleh Pentul dan Bejer,
penari yang trance tersebut erjoged mengikuti irama lagu tersebut. Dalarn
keadaan trance mata si penari tidak selalu tertutup, ada juga penari yang
matanya terbuka seperti dalam keadaan biasa. Kuda lumping di sini tidak hanya 6
tetapi 10 buah. Dua kuda pasangan terdepan berwarna putih, sedangkan yang
8 buah berwarna hitam. Dua kuda pasangan yang ada di baris belakang adalah kuda
kecil atau anak kuda (belo - Jawa). Anak kuda ini dibentuk sedemikian rupa
sehingga memberi kesan kekanak-kanakan. Kepala kuda yang kecil memandang lurus
ke depan, sedang kepala kuda yang lain tertunduk. Perbedaan sikap kepala
kuda lumping itu bukan hanya model atau variasi, tetapi memang digunakan untuk menunjukkan
atau memberi kesan bahwa peran kuda tersebut berbeda dengan kuda-kuda yang lain
dan gaya tarian orang yang menunggang anak kuda agak berlainan, yaitu harus
lebih lincah dan leluasa dalam bergerak/bergaya, dan memberi kesan
kekanak-kanakan.Di samping itu masih banyak keunikan-keunikan yang menambah
kemeriahan pertunjukan Jatilan Gaya Baru ini.
BATARA
KATONG
Sejarah lesan, yang berkembang dari
mulut ke mulut satu generasi selanjutnya menjadi penting posisinya, terutama
dalam kaitan analisis psiko historis. Karena dari sejarah lesan, yang
berkembang inilah muncul imajinasi, struktur keyakinan dan nilai masyarakat.
Terlepas, dari apakah sejarah lesan tidak merupakan hasil obyektif dari
penelitian sejarah? atau sering bercampur dengan berbagai mitologi? Sejarah
yang berkembang lewat tradisi lesan, bahkan menjadi semacam belief sebagaimana
telah di sebutkan di atas. Dibawah ini akan, mencoba di deskripsikan beberapa
hasil investigasi, penelitian dokumen yang kesemuanya tidak lain adalah
pernyataan lesan beberapa tokoh dan sesepuh dimasing-masing komunitas di
Ponorogo.
Sebagaimana telah di ulas di awal
tulisan ini bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa
pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro
Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa
didaerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa
melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.
Batoro Katong, memiliki nama asli
Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari
selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan
Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden
Fattah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya,
untuk berguru dibawah bimbingan Wali Songo di Demak. Brawijaya V yang pada masa
hidupnya berusaha di Islamkan oleh wali Songo, para Wali Islam tersebut
membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama
Islam untuk menjadi Istrinya.
Walaupun kemudian Prabu Brawijaya
sendiri gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putrid Campa
mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri
Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana yang
lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernamaPujangga Anom Ketut
Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali. Tokoh yang
terakhir ini, kemudian ‘desersi’ untuk keluar dari Majapahit, dan membangun
peradaban baru di tenggara Gunung Lawu. Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian
di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang
menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini namakan Kutu, kini merupakan daerah
yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian
menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan
reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap
raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan
rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki
Ageng Kutu sendiri di simbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut
sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu
untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya di anggap
sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama
dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus
‘kejayaan’ Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama
muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan ‘investigasi’
terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling
berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa
paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan
Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni yang
kemudian di kenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya
bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain. Saat Batoro
Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut
Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah
pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang
sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.
Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki
Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di ‘iming-imingi’ akan di jadikan
istri.
Kemudian Niken Gandini inilah yang
‘dimanfaatkan’ Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, pusaka
pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu
menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom
Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo
(terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya
Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini di sebut sebagai Gunung Bacin,
terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng
Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini di mungkinkan
dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah ‘dihilangkannya’ Ki Ageng Kutu,
Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak
lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat
Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah
Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat
Kota. dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun
pasti. Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di
eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif
tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan,
semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro
Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan
agama Islam.
Dalam konteks inilah, keberadaan
Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan
politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap
perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katonglah yang
menjadi figur yang di idealkan, penguasa sekaligus ‘ulama. Pelacakan
‘genealogi’ kultur politik pesantren dan elite Ormas Islam di Ponorogo,
setidaknya dapat dimulai dari titik ini.
Dan terdapat dua konklusi penting
yang menurut penulis dapat ditarik upaya Batoro Katong yakni: pertama,
upaya meraih kekuasaan (berpolitik praktis) tidak lain adalah bagian dari misi
suci ‘berdakwah’ melalui politik. Kedua, mereka yang memiliki kultur
berbeda, dan dianggap seringkali berlawanan dengan nilai agama, berarti juga
adalah musuh secara politis yang harus ‘di kuasai’ dan kemudian ‘di
beradabkan’. Ketiga, untuk melakukan proses memberadabkan masyarakat
melalui agama, dan melakukan proses penjinakan-penjinakan unsur-unsur subversif
yang ada dalam masyarakat Ponorogo (misal: penjinakan Reog).
KONTROVERSI
Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan “Malaysia” dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia – dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia.
Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan “Malaysia” dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia – dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia.
Hal ini memicu protes dari berbagai
pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak
cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004
dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ribuan
Seniman Reog pun menggelar demo di depan Kedutaan Malaysia. Berlawanan dengan
foto yang dicantumkan di situs kebudayaan, dimana dadak merak dari versi Reog Ponorogo
ditarikan dengan tulisan “Malaysia”, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk
Zainal Abidin Muhammad Zain pada akhir November 2007 kemudian menyatakan bahwa
“Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli
negara itu. Reog yang disebut “barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor
dan Selangor karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri jiran
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar