ASTHA
BRATA
Dalam
wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu konsepsi Ilmu Luhur yang menjadi
prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa. Yakni ilmu “Hasta Brata” atau dikenal
pula sebagai Wahyu Makutha Rama yang diterima Raden Arjuna setelah menjalani
“laku” prihatin dengan cara tapa brata dan tarak brata (Lihat : serat Laksita
Jati).
Hasta
berarti delapan, brata adalah “laku” atau jalan spiritual/rohani. Hasta Brata
maknanya adalah delapan “laku” yang harus ditempuh seseorang bila sedang menjalankan
tampuk kepemimpinan. Kedelapan “laku” sebagai personifikasi delapan unsur
alamiah yang dijadikan panutan watak (watak wantun) seorang pemimpin. Kedelapan
unsur tersebut meliputi delapan karakter unsur-unsur alam yakni : bumi, langit,
angin, samudra-air, rembulan, matahari, api, dan bintang. Bila seorang pemimpin
bersedia mengadopsi 8 karakter unsur alamiah tersebut, maka ia akan menjadi
pemimpin atau raja yang adil, jujur, berwibawa, arif dan bijaksana. Hal ini
berlaku pula untuk masyarakat luas, bilamana seseorang dapat mengadopsi ilmu
Hasta Brata ia akan menjadi seseorang yang hambeg utama, berwatak mulia, luhur
budi pekertinya.
Hasta
Brata, atau Wahyu Makutha Rama merupakan sebuah ilmu yang termasuk bukan ilmu
sembarangan. Artinya memiliki makna yang sangat tinggi yang terkandung di dalam
prinsip-prinsip hukum alamiah di dalamnya. Dalam cerita pewayangan wahyu
Makutha Rama atau dikenal pula sebagai ilmu Hasta Brata pernah berhasil sukses
menghantarkan dua tokoh atau dua orang raja besar titisan Bathara Wisnu, yakni
Sri Rama Wijaya duduk sebagai raja di kerajaan Ayodya, dan Sri Bathara Kresna
adalah raja yang bertahta di kerajaan Dwarawati. Selanjutnya diceritakan Sri
Bathara Kresna membuka rahasia ilmu Hasta Brata kepada Raden Arjuna Wiwaha,
sebagai saudara penengah di antara Pendawa Lima. Dikatakan bahwa anasir
ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku
sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara
dan bangsa. Inilah antara lain sebagaimana yang saya maksudkan dengan sinergi
dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar.
Kedelapan
unsur alam semesta tersebut menggambarkan pula 8 Dewa beserta sifat-sifatnya,
seperti di bawah ini :
1)
Mulat
Laku Jantraning Bantala (Bumi ; Bethara Wisnu)
2)
Mulat
Laku Jantraning Surya (Matahari ; Bethara Surya)
3)
Mulat
Laku Jantraning Kartika (Bintang ; Bethara Ismaya)
4)
Mulat
Laku Jantraning Candra (Rembulan ; Bethari Ratih)
5)
Mulat
Laku Jantraning Tirta (Air ; Bathara Baruna)
6)
Mulat
Laku Jantraning Himanda (Langit ; Bathara Indra)
7)
Mulat
Laku Jantraning Maruta (Angin ; Bathara Bayu)
8)
Mulat
Laku Jantraning Agni (Api ; Bethara Brahma)
1) Watak Bumi (Hambeging Kisma)
Digambarkan
watak Bethara Wisnu sebagai karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan
segalanya dan suka berderma. Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah
seseorang yang memiliki sifat kaya hati. Dalam terminologi Jawa kaya hati
disebut sabardrono, ati jembar, legawa dan lembah manah. Rela menghidupi dan
menjadi sumber penghidupan seluruh makhluk hidup. Bumi secara alamiah juga
berwatak melayani segala yang hidup. Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin
tidak kagetan dan gumunan, sebaliknya bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi
dengan segala macam situasi dan kondisi tanpa harus merubah unsur-unsur
tanahnya. Maknanya, sekalipun seseorang bersifat mudah adaptasi atau fleksibel
namun tidak mudah dihasut, tak mempan diprovokasi, karena berbekal ketenangan
pikir, kebersihan hati, dan kejernihan batinnya dalam menghadapi berbagai macam
persoalan dan perubahan.
Bumi
juga selalu menempatkan diri berada di bawah menjadi alas pijakan seluruh
makhluk. Artinya seseorang yang bersifat bumi akan bersifat rendah hati, namun
mampu menjadi tumpuan dan harapan orang banyak. Sifat tanah berlawanan dengan
sifat negatif api. Maka tanahlah yang memiliki kemampuan efektif memadamkan
api. Api atau nar, merupakan ke-aku-an yang sejatinya adalah “iblis” yakni
tiada lain nafsu negatif dalam diri manusia. Seseorang yang bersifat bumi atau
tanah, tidak akan lepas kendali mengikuti jejak nafsu negatif.
Bumi
dalam hukum adi kodrati memiliki prinsip keseimbangan dan pola-pola hubungan
yang harmonis dan sinergis dengan kekuatan manapun. Namun demikian, pada saat
tertentu bumi dapat berubah karakter menjadi tegas, lugas dan berwibawa. Bumi
dapat melibas kekuatan apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum keseimbangan
alam. Seseorang yang memiliki watak bumi, dapat juga bersikap sangat tegas, dan
mampu menunjukkan kewibawaannya di hadapan para musuh dan lawan-lawannya yang
akan mencelakai dirinya. Akan tetapi, bumi tidak pernah melakukan tindakan
indisipliner yang bersifat aksioner dan sepihak. Karena ketegasan bumi sebagai
bentuk akibat (reaksi) atas segala perilaku disharmoni.
2) Watak Matahari (Hambeging Surya)
Matahari
bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak matahari akan selalu menjadi
penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara Surya. Mampu menyirnakan
segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di manapun ia akan selalu
memberikan pencerahan kepada orang lain. Matahari juga menghidupi segala
makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat matahari menjadi
penghangat suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka bumi akbiat
kegelapan dan kedinginan. Seseorang yang berwatak matahari, ia menjadi sumber
pencerahan bagi kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai penuntun, guru,
pelindung sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke arah kemajuan
peradaban yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang berwatak
matahari, ia akan konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora kagetan (tidak
mudah terkaget-kaget), ora gumunan (tidak gampang heran akan hal-hal baru dan
asing).
Seseorang
watak matahari ibarat perjalanan matahari yang berjalan pelan dalam arti
hati-hati tidak terburu-buru (kemrungsung), langkah yang pasti dan konsisten
pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan (istikomah). Lakuning srengenge,
seseorang harus teguh dalam menjaga tanggungjawabnya kepada sesama.
Tanggungjawabnya sebagai titah (khalifah) Tuhan, yakni menetapkan segala
perbuatan dan tingkah laku diri ke dalam “sifat” Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui;
maka kita sebagai titah Tuhan hendaknya terus-menerus berusaha mencari ilmu
pengetahuan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya agar ilmu tersebut
bermanfaat untuk kemajuan pradaban manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang
konstruktif untuk kemaslahatan semua orang dan menjaga kelestarian alam
sekitarnya.
3) Watak Bintang (Hambeg Kartika)
Kartika
atau bintang berwatak selalu mapan dan tangguh, walaupun dihempas angin prahara
(sindhung riwut) namun tetap teguh dan tidak terombang-ambing. Sebagaimana
watak Bathara Ismaya, dalam menghadapi persoalan-persoalan besar tidak akan
mundur selangkahpun bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara Ismaya
adalah tertata, teratur, dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih, dan
menuntun orang yang sedang mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di
antara kegelapan. Seseorang yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki
cita-cita, harapan dan target yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan
tidak hanya untuk diri sendiri namun juga orang banyak. Maka sebutan sebagai
“bintang” selalu dikiaskan dengan suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi
bintang akan memperindah kegelapan langit di malam hari. Orang yang berwatak
bagai bintang akan selalu menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi
berbagai macam persoalan kehidupan.
4) Watak Rembulan (hambeg Candra)
Candra
atau rembulan, berwatak memberikan penerang kepada siapapun yang sedang
mengalami kegelapan budi, serta memberikan suasana tenteram pada sesama.
Rembulan membuat terang tanpa membuat “panas” suasana (dapat ikannya, tanpa
membuat keruh airnya). Langkah rembulan selalu membuat sejuk suasana pergaulan
dan tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri (rahsaning karep). Watak
rembulan menggambarkan nuansa keindahan spiritual yang mendalam. Selalu eling
dan waspadha, selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada
harmonisasi dan keselarasan terhadap hukum alam (arab; kehendak ilahi/musyahadah).
Lakuning rembulan, seseorang mampu “nggayuh kawicaksananing Gusti” artinya
mampu memahami apa yang menjadi kehendak (kebijaksanaan) Sang Jagadnata.
Setelah memahami, lalu kita ikuti kehendak Tuhan menjadi sebuah “laku tapa
ngeli” artinya kita hanyutkan diri pada kehendak Ilahi. Witing klapa salugune
wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.
Orang
yang berwatak rembulan, selalu mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang tampak
dalam berbagai “bahasa” alam sebagai pertanda kebesaran Tuhan. Bulan purnama
menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang indah sekali. Orang-orang tua dan anak-anak
zaman dahulu selalu bersuka ria saat merayakan malam bulan purnama. Karena
menyaksikan keindahan malam bulan purnama, bagai membaca “ayat-ayat” Tuhan,
mampu menggugah kesadaran batin dan akal-budi manusia akan keagungan Tuhan.
Sayang sekali kebiasaan itu sudah dianggap kuno, kalah dengan hiburan zaman
modern yang kaya akan tawaran-tawaran hedonis. Bahkan secara agama, kebiasaan
merayakan “padhang mbulan“ oleh orang-orang tertentu dianggap sebagai tradisi
yang sia-sia karena tidak menimbulkan pahala. Padahal bulan purnama memiliki
khasiat lain sebagai media terapi lahir dan batin di saat terjadi berbagai
kegelisahan jiwa. Sinar bulan purnama sangat baik untuk mengobati segala macam penyakit
dengan cara menjemur diri di bawah sinar bulan purnama. Apalagi disertai dengan
semedi sebagai wahana olah raga dan olah rasa. Itulah mengapa leluhur kita
zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya bulan purnama.
5) Watak Air (Hambeg Tirta)
Mengambil
sisi positif dari watak maruta. Tirta atau air berwatak selalu rendah hati
dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin (bawa) atau andhap asor. Selalu
menempatkan diri pada tempat yang rendah, umpama perilaku dinamakan rendah hati
(lembah manah) dan sopan santun (andhap asor). Orang yang berwatak air akan
selalu rendah hati, mawas diri, bersikap tenang, mampu membersihkan segala yang
kotor. Air selalu mengalir mengikuti lekuk alam yang paling mudah dilalui
menuju samodra. Air adalah gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan pada
kodrat Tuhan. Air tidak pernah melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan yang
mendaki ke arah gunung, meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air,
perbuatannya selalu berada pada kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh selalu
diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi. Sehingga watak air akan membawa seseorang
menempuh jalan kehidupan dengan irama yang paling mudah, dan pada akhirnya akan
masuk kepada samodra anugrah Tuhan Yang Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak
air bah, tsunami, lampor, rob, yang melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang
yang menerjang wewaler, religi, tatanan sosial, tata krama, hukum positif,
serta hukum normatif.
Berwatak
air, akan membawa diri kita dalam sikap yang tenang, tak mudah stress, tidak
mudah bingung, tidak gampang kagetan, lemah-lembut namun memiliki daya kekuatan
yang sangat dahsyat. Sikap kalem tidak bertabiat negatif. Namun hati-hatilah
karena orang sering merasa sudah mengikuti watak air, namun tidak menyadari
yang diikuti adalah air bah, maknanya adalah watak cenderung membuat kerusakan,
diburu-buru, tanpa perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang
penting gasak dulu, urusan dipikir dibelakang
(pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).
6) Watak Langit (Hambeg Himanda)
Himanda atau langit. Bersifat melindungi atau mengayomi terhadap seluruh makhluk tanpa
pilih kasih, dan memberi keadilan dengan membagi musim di berbagai belahan
bumi. Watak langit ini relatif paling sulit diterapkan oleh manusia zaman
sekarang, khususnya di bumi nusantara ini. Seorang pemimpin, negarawan,
politisi, yang mampu bersikap tanpa pilih kasih dan bersedia mengayomi seluruh
makhluk hidup, merupakan tugas dan tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di
tengah kondisi politik dan kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari
benarnya sendiri, mencari untungnya sendiri, dan mencari menangnya sendiri.
Tidak jarang seseorang, atau wakil rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan
partainya saja, bukan kepentingan bangsa.
Bahkan
anggota legislatif, pimpinan masyarakat, para aktor intelektual, pemuka
spiritual terkadang tak menyadari sedang mengejar kepentingannya sendiri, atau
kepentingan kelompoknya saja. Orang-orang di luar diri atau kelompoknya
dianggap tidak penting untuk diayomi. Orang yang berbeda peristilahan, bahasa,
budaya, adat istiadat, dan tradisi sekalipun sebangsa dan setanah air, tetap
saja diasumsikan sebagai orang yang tak perlu di bela dan dilindungi. Bahkan
orang-orang tersebut dianggap sesat, pembual, pembohong, penipu. Prasangka-prasangka
negatif ini sangat bertentangan dengan watak akasa. Himanda atau langit akan
melihat secara gamblang beragamnya persoalan kehidupan di muka bumi ini.
Kewaskitaan himanda seumpama mata satelit, ia akan menyaksikan bahwa ternyata di
atas bumi ini terdapat ribuan bahkan jutaan jalan spiritual menuju satu titik
yang sama, meskipun jalan yang ditempuh sangat beragam dan berbeda-beda. Maka
watak langit tak suka menyalahkan orang lain, tak suka menghujat sesama, tak
suka memaki dan mengumpat sekalipun terhadap orang yang memusuhinya. Itulah
watak langit, sebagaimana terdapat pada Bethara Indra. Justru terhadap semua
manusia apapun watak, dan bagaimanapun sikapnya Bethara Indra akan selalu
ngemong sesama, mampu mengelola watak mengalah, mampu menahan diri, meredam
emosi, dan membimbing seluruh makhluk hidup dengan cara yang penuh dengan kasih
sayang. Dalam manajemen perilaku Jawa, sikap ini selalu diutamakan terutama
dalam pasamuan, bebrayan (bermasyarakat), pertemuan, diskusi, dan dalam
berbagai pergaulan. Maka watak Jawa menuntut perilaku hambeg utama, lumuh
banda, luhur dalam budi pekerti atau solah (perilaku jasad) dan bawa (perilaku
batin).
Sedangkan
terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada pernah mempermalukan dan meremehkan.
Itulah watak Bathara Indra, sebagai watak akasa atau langit. Sayang sekali,
watak ini sudah terkena polusi “watak asing” yang menjadikan seseorang tidak
canggung mencaci orang lain yang berada di luar kelompoknya, dan menyalahkan
orang yang tak sepaham dengannya. Salah satu sikap, bila ingin mengaplikasi
watak Bathara Indra, bilamana kita berangkat dengan kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan yang kita kuasai seumpama sebutir debu yang beterbangan, maka kita
tak akan pernah memiliki watak merasa paling benar dan pandai. Karena rahasia
ilmu yang terdapat di jagad raya ini adalah sebanyak debu yang ada di seluruh
alam semesta.
7) Watak Angin (Hambeg Maruta)
Maruta
atau angin atau udara. Mengambil sisi positif dari watak angin Bathara Bayu.
Angin memiliki watak selalu menyusup di manapun ada ruang yang hampa, walau
sekecil apapun. Angin mengetahui situasi dan kondisi apapun dan bertempat di
manapun. Kedatangannya tidak pernah diduga, dan tak dapat dilihat. Seseorang
yang berwatak samirana atau angin, maknanya adalah selalu meneliti dan
menelusup di mana-mana, untuk mengetahui problem-problem sekecil apapun yang
ada di dalam masyarakat, bukan hanya atas dasar kata orang, katanya, konon,
jare, ceunah ceuk ceunah. Watak angin mampu merasakan apa yang orang lain
rasakan (empati), orang berwatak angin akan mudah simpati dan melakukan empati.
Watak angin sangat teliti dan hati-hati, penuh kecermatan, sehingga seorang yang
berwatak angin akan mengetahui berbagai persoalan dengan data-data yang cukup
valid dan akurat. Sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan setiap
ucapannya dapat dipertanggungjawabkan.
8) Watak Api (Hambeg Agni)
Agni
atau api atau dahana. Yang diambil adalah sisi positif dari watak api yakni
Bathara Brahma. Watak api adalah mematangkan dan meleburkan segala sesuatu.
Seorang yang mengambil watak api akan mampu mengolah semua masalah dan
kesulitan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga. Ia juga bersedia untuk
melakukan pencerahan pada sesama yang membutuhkan, murah hati dalam mendidik
dan menularkan ilmu pengetahuan kepada orang-orang yang haus akan ilmu.
Mematangkan mental, jiwa, batin sesama yang mengalami stagnansi atau kemandegan
spiritual. Api tidak akan mau menyala tanpa adanya bahan bakar. Maknanya
seseorang tidak akan mencari-cari masalah yangbukan kewenangannya. Dan tidak
akan mencampuri urusan dan privasi orang lain yang tidak memerlukan bantuan.
Api hanya akan melebur apa saja yang menjadi bahan bakarnya. Seseorang mampu
menyelesaikan semua masalah yang menjadi tanggungjawabnya secara adil (mrantasi
ing gawe). Serta tanpa membeda-bedakan mana yang mudah diselesaikan (golek
penake dewe), dan tidak memilih berdasarkan kasih (pilih sih) , memilih
berdasarkan kepentingan pribadinya (golek butuhe dewe).
terimakasih atas ilmunya:) sangat bermanfaat untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
BalasHapusterimakasih atas ilmunya:) sangat bermanfaat untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
BalasHapusMatur Nuwun kagem materinipun
BalasHapussami-sami kang..
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnice post, makasih gan
BalasHapusJagat Nuswantoro wis ketok jembar padang sanget kahyangane
BalasHapus