Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk
memahami filosofi Kejawen yang berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan Paraning
Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar
tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahui dari mana kita
berasal, untuk apa kita hidup Dan kemana tujuan kita setelah hidup kita berada
di akhir hayat.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan.
Kawruhana sejatining urip
(ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya
(hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe
(ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur
(ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki
(pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang
(dimana hinggapnya besok)
aja kongsi kaleru
(jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja
(umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih
(saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya
(pulang ke asal mulanya)
Kemanakah kita bakal 'pulang'?
Kemanakah setelah kita 'mampir ngombe' di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari 'kurungan' (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.
Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa
dunia ini bukanlah tempat yang langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh
Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti
ini:
"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip,
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya."
"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip,
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya."
("Terbalik
pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang
mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau
meninggalkan alam dunia")
Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah:
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?
Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
"Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan."
(Kenyataannya,
dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya
senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup
langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali
ataupun bajingan")
Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.
Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
"Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?
Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).
Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.
Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.
Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
"Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?
Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).
Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.
Nuwun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar