...Sastra Jendra Hayunigrat Pangruwating Diyu...
Secara harfiah arti dari Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebagai
berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat =
Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa
atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang
harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya
dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi
kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran
kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan
mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang
menekankan sifat amar maruf nahi munkar, sifat
memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
Asal – usul Sastra Jendra Dan
Filosofinya
Menurut para ahli sejarah, kalimat Sastra
Jendra
tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada
abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai
Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala.
Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom berikut cerita lokapala :
Tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama Lokapala.
Negara ini adalah tempat bersemayamnya seorang raja
muda bernama Danaraja.
Danaraja atau Danapati terkenal
sangat sakti dan tampan. Rakyat dan bala tentaranya
terdiri dari manusia dan raksasa. Dan semua tentaranya
sangat ahli dalam olah keprajuritan. Lokapala
didirikan oleh Prabu Danurdana yang merupakan
keturunan Dewa Sambu putra Bathara Guru.
Kemudian berturut-turut Lokapala yang damai diperintah oleh
Prabu Andanapati kemudian Prabu Lokawana. Prabu
Lokawana memiliki putri yang cantik jelita bernama
Dewi Lokawati. Lokawati yang cantik itu akhirnya
menikah dengan seorang pemuda brahmana sakti dan
tampan bernama Resi Wisrawa.
Setelah sang Prabu Lokawana mangkat, maka Wisrawa
menjadi raja di Lokapala. Prabu Wisrawa sangat
dicintai rakyatnya karena ia memimpin negara dengan
arif dan bijaksana. Dan dari perkimpoiannya dengan Dewi
Lokawati, mereka dianugrahi seorang putra yang diberi
nama Danaraja.
Tahun dan musim berganti, akhirnya
Danaraja tumbuh dewasa dan akhirnya naik tahta
menggantikan ayahnya yang lebih memilih hidup bertapa
sebagai pendeta. Dan sama seperti ayahnya, Prabu
Danaraja sangat arif dalam memimpin negara dan
rakyatnya. Sampai pada suatu ketika, Prabu Danaraja
mendengar adanya sebuah sayembara memperebutkan
seorang putri yang sangat cantik bernama Dewi Sukesi.
Dewi Sukesi adalah putri dari Prabu Sumali seorang
maharaja raksasa pemimpin negara Alengka. Sudah lama
memang Danaraja mendengar kecantikan sang putri. Ia
ingin sekali memperistri Dewi Sukesi dan
menyandingkannya sebagai permaisuri kerajaan
Lokapala.Maka disampaikanlah keinginan itu kepada
ayahandanya Resi Wisrawa. Danaraja ingin sekali
ayahnya mengutarakan keinginannya dan melamar Dewi
Sukesi untuknya. Wisrawa senang sekali mendengar hal
tersebut. Dan dengan cinta yang tulus dari seorang
ayah, Wisrawa bersedia berangkat ke Alengka untuk
melamar sang putri Sukesi karena menurut Resi Wisrawa,
tidak pantas bagi seorang raja terjun langsung ke
dalam arena sayembara, lagi pula syarat kedua, yaitu
penjabaran ilmu sastrajendra hayuningrat pangruwating
diyu tidak akan mungkin dapat diungkapkan oleh Prabu
Danaraja, sebab menurut Resi Wisrawa hanya dia
sendirilah yang dapat melakukan.
Alengkadiraja adalah kerajaan besar yang dipimpin oleh
raja raksasa bernama Prabu Sumali. Walaupun sang raja
berujud raksasa namun meskipun demikian, hati dan
tindak-tanduknya jauh lebih mulia melebihi manusia
lumrah. Prabu Sumali sendiri adalah putra dari raja
Alengka sebelumnya, Prabu Puksura.
Prabu Sumali juga memiliki putra yang bernama Sukesa
yang sangat sakti. Negara Alengka merupakan negara
yang sudah berusia cukup tua. Raja-raja sebelumnya
yaitu Prabu Banjaranjali, Prabu Jatimurti, Prabu
Getahbanjaran, Prabu Bramanatama, Prabu Puksura dan
terakhir Prabu Sumali. Rakyat Alengka kebanyakan
adalah para raksasa yang hidup tentram dan damai
dibawah kepemimpinan raja-raja tersebut.
Kini, Prabu Sumali tengah mencari jodoh untuk putrinya
yang tercinta Dewi Sukesi. Dewi Sukesi memberikan
syarat bagi calon suami yang ingin meminangnya harus
ahli dalam hal kesusastraan. Namun diluar persyaratan
itu, Jambumangli sendiri menghendaki keponakannya menikah
dengan seorang satria yang mampu mengatasi
keperkasaannya. Dan memang hingga kini tak satupun
para satria dan raja yang datang ke Alengka mampu
mengalahkan kedigdayaan Jambumangli.
Tetapi nampaknya,
Sang Pencipta berkata lain. Resi Wisrawa akhirnya
sampai di istana Alengka dan bertemu dengan Prabu
Sumali. Dua insan yang memang sahabat lama ini saling
berpelukan pada saat mereka bertemu. Namun air muka
sang Prabu Sumali berubah pada saat Wisrawa menyatakan
keinginannya datang ke Alengka. Prabu Sumali
memberitahukan bahwa untuk mendapatkan Dewi Sukesi
kerajaan telah membuat suatu sayembara tanpa memandang
apa dan siapa orangnya yaitu harus dapat. mengalahkan
Ditya Kala Jambu Mangli saudara muda Prabu Sumali dan
harus dapat menjabarkan Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Pangrumating Diyu.
Wisrawa menyanggupi dan kemudian berhadapanlah dia
dengan Arya Jambumangli. Dari hasil percakapannya
dengan Ditya Kala Jambumangli, Resi Wisrawa
mendapatkan isyarat, bahwa Jambumangli yang pamannya
Dewi Sukesi itu ternyata mempunyai minat sendiri
terhadap keponakannya. Oleh karenanya, Resi Wisrawa
bertekad tidak hanya akan mengalahkan tetapi harus
memusnahkan Jambumangli.
Perang tanding seru terjadi.
Namun kesaktiaan Jambumangli masih berada dibawah
Wisrawa. Maka setelah beberapa waktu, Jambumangli
mulai kehabisan tenaga dan Resi Wisrawa dengan mudah
menekuk Jambumangli. Namun Jambumangli yang licik
terus memburu Resi Wisrawa. Wisrawa mengeluarkan
kesaktian dahsyatnya dan dibantainya Arya Jambumangli
hingga terpenggal kedua tangan, kaki dan kepalanya.
Sorak sorai para penonton dan ksatria membahana karena
hal ini sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Jambumangli
memang satria raksasasa yang sakti namun ia berwatak
angkuh dan sombong. Persyaratan pertama telah dilalui.
Ramayana {bagian 2} - Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu
Kini tiba saatnya Resi Wisrawa memulai penjabaran apa
arti ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Namun sebelum wejangan berupa penjabaran makna ilmu
sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu diajarkan
kepada Dewi Sukesi, Resi Wisrawa memberikan sekilas
tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali.
Resi Wisrawa berkata lembut, bahwa seyogyanya tak usah
terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti
terlaksana. Jika dengan sesungguhnya menghendaki
keutamaan dan ingin mengetahui arti sastra jendra.
Ajaran Ilmu Sastra Jendra itu adalah, barang siapa
yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung
di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak
(nafsu-nafsu) diri pribadi.
Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan
sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan
kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu
yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang
bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin.
Kesemuanya di bawah pimpinan kebijaksanaan yang
bersifat luhur.
Terperangah Prabu Sumali tatkala mendengar uraian Resi
Wisrawa. Mendengar penjelasan singkat itu Prabu Sumali
hatinya mmenjadi sangat terpengaruh, tertegun dan
dengan segera mempersilahkan Resi Wisrawa masuk ke
dalam sanggar. Wejangan dilakukan di dalam sanggar
pemujaan, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi
Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Karena Sastrajendra adalah
rahasia alam semesta, yang tidak dibolehkan diketahui
sebarang makhluk, seisi dunia baik daratan, angkasa
dan lautan.
Dalam sebuah
sanggar tertutup Wisrawa
mengajarkan ilmu Sastrajendra
Hayuningrat kepada Sumali.
Sumali pun
memperoleh pencerahan dan berubah wujud manjadi manusia.
Sementara itu
Sukesa yang penasaran mengintai dari luar.
Karena mencuri
dengar tanpa izin, tubuhnya pun berubah wujud menjadi raksasa.
Sejak saat itu
ia memakai nama Prahasta.
Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
adalah sebuah ilmu sebagai kunci
orang dapat memahami isi indraloka pusat tubuh manusia
yang berada di dalam rongga dada yaitu pintu gerbang
atau kunci rasa jati, yang dalam hal ini bernilai sama
dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat gaib. Maka
dari itu ilmu Sastra Jendera Hayuningrat Pangruwating
Diyu adalah sebagai sarana pemunah segala bahaya, yang
di dalam hal ilmu sudah tiada lagi. Sebab segalanya
sudah tercakup dalam sastra utama, puncak dari segala
macam ilmu. Raksasa serta segala hewan seisi hutan,
jika tahu artinya sastra jendra. Dewa akan membebaskan
dari segala petaka. Sempurna kematiannya, rohnya akan
berkumpul dengan roh manusia, manusia yang telah
sempurna yang menguasal sastra jendra, apabila ia
mati, rohnya akan berkumpul dengan para dewa yang
mulya.
Sastra
Jendra disebut pula Sastra Ceta.
Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, keagungan akan
kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum
nyata bagi manusia biasa. Karena itu Ilmu Sastra
Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan
tentang rahasia seluruh semesta alam beserta
perkembangannya. Jadi tugasnya, Ilmu Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan atau cara
untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu,
manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau jalan
dalam hal ini berarti sukma dan roh yang manunggal,
Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, keagungan akan
kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum
nyata bagi manusia biasa. Karena itu Ilmu Sastra
Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan
tentang rahasia seluruh semesta alam beserta
perkembangannya. Jadi tugasnya, Ilmu Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan atau cara
untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu,
manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau jalan
dalam hal ini berarti sukma dan roh yang manunggal,
Ada
tujuh tahapan atau tingkat yang harus dilakukan
apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna,
yaitu :
Tapaning jasad, yang berarti
mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau
kegiatannya. Janganlah hendaknya merasa sakit hati
atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai
sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu
peristiwa yang menyangkut pada dirinya.
Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan
kesungguhan hati.
Tapaning budi, yang berarti
mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina dan
segala hal yang bersifat tidak jujur.
Tapaning hawa nafsu, yang berarti
mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau
sifat angkara murka dari diri pribadi. Hendaknya
selalu bersikap sabar dan suci, murah hati,
berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun,
juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memperhatikan
perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat
tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak
dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga,
serta kewaspadaan (hening).
Tapaning sukma, yang berarti
memenangkan jiwanya.
Hendaknya kedermawanannya diperluas. Pemberian sesuatu
kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan
hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian,
sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang
berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga.
Pendek kata tanpa menyinggung perasaan.
Tapaning cahya, yang berarti
hendaknya orang selalu awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkansesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk
karena keadaan cemerlang yang dapat mengakibatkan
penglihatan yang serba samar dan saru. Lagi pula
kegiatannya hendaknya selalu ditujukan kepada
kebahagiaan dan keselamatan umum.
Tapaning gesang, yang berarti
berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati,
kearah kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada
tingkat hidup tertinggi, maka ilmu Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu itu dinamakan pula
"Benih seluruh semesta alam."
Jadi semakin jelas bahwa Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat
memahami isi Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu
yang luhur diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai.
Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus
ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan,
kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah yang
baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat itu
ialah; Luamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu
birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal
yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya
sesuatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain:
kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan dan lain
sebagainya.
Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah
(nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati,
berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya) yang selalu
menghalang-halangi tindakan yang tidak senonoh.
Saat wejangan tersebut dimulai, para dewata di
kahyangan marah terhadap Resi Wisrawa yang berani
mengungkapkan ilmu rahasia alam semesta yang merupakan
ilmu monopoli para dewa.
Para Dewa sangat berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke
manusia. Karena apabila hal itu terjadi, apalagi jika
pada akhirnya manusia melaksanakannya, maka
sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia
akan menjadi makhluk sempurna di mata
Penciptanya.Dewata tidak dapat membiarkan hal itu
terjadi. Maka digoncangkan seluruh penjuru bumi. Bumi
terasa mendidih. Alam terguncang-guncang. Prahara
besar melanda seisi alam. Apapun mereka lakukan agar
ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di jalankan.
Semakin lama ajaran itu semakin meresap di tubuh
Sukesi. Untuk tidak terungkap di alam manusia, maka
Bhatara Guru langsung turun tangan dan berusaha agar
hasil dari ilmu tersebut tetap menjadi rahasia para
dewa. Karenanya ilmu tersebut harus tetap tetap patuh
berada di dalam rahasia dewa. Oleh niat tersebut maka
Bhatara Guru turun ke bumi masuk ke dalam badan Dewi
Sukesi.
Dibuatnya Dewi Sukesi tergoda dengan Resi
Wisrawa. Dalam waktu cepat Dewi Sukesi mulai tergoda
untuk mendekati Wisrawa. Namun Wisrawa yang terus
menguraikan ilmu itu tetap tidak berhenti. Bahkan
kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru
terpental keluar dari raga Wisrawa.
Tetapi Bathara Guru tidak menyerah begitu saja. Dipanggilnya
permaisurinya yaitu Dewi Uma turun ke dunia. Bhatara
Guru masuk menyatu raga dalam tubuh Resi Wisrawa
sedang Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi.
Tepat pada waktu ilmu itu hendak selesai diwejangkan
oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi, datanglah suatu
percobaan atau ujian hidup. Sang Bhatara Guru yang
menyelundup ke dalam tubuh Bagawan Wisrawa dan Bhatari
Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi memulai
gangguannya terhadap keduanya.
Godaan yang demikian dahsyat datang menghampiri kedua insan itu.
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi yang menerima pengejawantahan
Bhatara Guru dan Dewi Uma secara berturut-turut
terserang api asmara dan keduanya dirangsang oleh
nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama semakin
tinggi. Tembuslah tembok pertahanan Wisrawa dan
Sukesi. Dan terjadilah hubungan yang nantinya akan
membuahkan kandungan. Begawan Wisrawa lupa, bahwa ia
pada hakekatnya hanya berfungsi sebagai wakil anaknya
belaka. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum
wejangan Sastra Jendra selesai, setelah hubungan
antara Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi terjadi,
kenyataan mengatakan mereka sudah merupakan
suami-istri.
Seusai gangguan itu Bathara Guru dan Dewi Uma segera
meninggalkan dua manusia yang telah langsung menjadi
suami istri. Sadar akan segala perbuatannya, mereka
berdua menangis menyesali yang telah terjadi. Namun
segalanya telah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Dan hasil dari
segala uraian yang gagal diselesaikan itu adalah
seboah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka
besar dikemudian hari.
Tetapi apapun hasilnya harus dilalui. Resi Wisrawa dan
Dewi Sukesi membeberkan semuanya apa adanya kepada
sang ayah Prabu Sumali. Dengan arif Prabu Sumali
menerima kenyataan yang sudah terjadi. Dan Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi resmi sebagai suami istri, dan
seluruh sayembara ditutup.
apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna,
yaitu :
Tapaning jasad, yang berarti
mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau
kegiatannya. Janganlah hendaknya merasa sakit hati
atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai
sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu
peristiwa yang menyangkut pada dirinya.
Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan
kesungguhan hati.
Tapaning budi, yang berarti
mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina dan
segala hal yang bersifat tidak jujur.
Tapaning hawa nafsu, yang berarti
mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau
sifat angkara murka dari diri pribadi. Hendaknya
selalu bersikap sabar dan suci, murah hati,
berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun,
juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memperhatikan
perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat
tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak
dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga,
serta kewaspadaan (hening).
Tapaning sukma, yang berarti
memenangkan jiwanya.
Hendaknya kedermawanannya diperluas. Pemberian sesuatu
kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan
hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian,
sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang
berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga.
Pendek kata tanpa menyinggung perasaan.
Tapaning cahya, yang berarti
hendaknya orang selalu awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkansesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk
karena keadaan cemerlang yang dapat mengakibatkan
penglihatan yang serba samar dan saru. Lagi pula
kegiatannya hendaknya selalu ditujukan kepada
kebahagiaan dan keselamatan umum.
Tapaning gesang, yang berarti
berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati,
kearah kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada
tingkat hidup tertinggi, maka ilmu Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu itu dinamakan pula
"Benih seluruh semesta alam."
Jadi semakin jelas bahwa Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat
memahami isi Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu
yang luhur diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai.
Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus
ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan,
kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah yang
baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat itu
ialah; Luamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu
birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal
yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya
sesuatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain:
kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan dan lain
sebagainya.
Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah
(nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati,
berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya) yang selalu
menghalang-halangi tindakan yang tidak senonoh.
Saat wejangan tersebut dimulai, para dewata di
kahyangan marah terhadap Resi Wisrawa yang berani
mengungkapkan ilmu rahasia alam semesta yang merupakan
ilmu monopoli para dewa.
Para Dewa sangat berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke
manusia. Karena apabila hal itu terjadi, apalagi jika
pada akhirnya manusia melaksanakannya, maka
sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia
akan menjadi makhluk sempurna di mata
Penciptanya.Dewata tidak dapat membiarkan hal itu
terjadi. Maka digoncangkan seluruh penjuru bumi. Bumi
terasa mendidih. Alam terguncang-guncang. Prahara
besar melanda seisi alam. Apapun mereka lakukan agar
ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di jalankan.
Semakin lama ajaran itu semakin meresap di tubuh
Sukesi. Untuk tidak terungkap di alam manusia, maka
Bhatara Guru langsung turun tangan dan berusaha agar
hasil dari ilmu tersebut tetap menjadi rahasia para
dewa. Karenanya ilmu tersebut harus tetap tetap patuh
berada di dalam rahasia dewa. Oleh niat tersebut maka
Bhatara Guru turun ke bumi masuk ke dalam badan Dewi
Sukesi.
Dibuatnya Dewi Sukesi tergoda dengan Resi
Wisrawa. Dalam waktu cepat Dewi Sukesi mulai tergoda
untuk mendekati Wisrawa. Namun Wisrawa yang terus
menguraikan ilmu itu tetap tidak berhenti. Bahkan
kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru
terpental keluar dari raga Wisrawa.
Tetapi Bathara Guru tidak menyerah begitu saja. Dipanggilnya
permaisurinya yaitu Dewi Uma turun ke dunia. Bhatara
Guru masuk menyatu raga dalam tubuh Resi Wisrawa
sedang Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi.
Tepat pada waktu ilmu itu hendak selesai diwejangkan
oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi, datanglah suatu
percobaan atau ujian hidup. Sang Bhatara Guru yang
menyelundup ke dalam tubuh Bagawan Wisrawa dan Bhatari
Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi memulai
gangguannya terhadap keduanya.
Godaan yang demikian dahsyat datang menghampiri kedua insan itu.
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi yang menerima pengejawantahan
Bhatara Guru dan Dewi Uma secara berturut-turut
terserang api asmara dan keduanya dirangsang oleh
nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama semakin
tinggi. Tembuslah tembok pertahanan Wisrawa dan
Sukesi. Dan terjadilah hubungan yang nantinya akan
membuahkan kandungan. Begawan Wisrawa lupa, bahwa ia
pada hakekatnya hanya berfungsi sebagai wakil anaknya
belaka. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum
wejangan Sastra Jendra selesai, setelah hubungan
antara Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi terjadi,
kenyataan mengatakan mereka sudah merupakan
suami-istri.
Seusai gangguan itu Bathara Guru dan Dewi Uma segera
meninggalkan dua manusia yang telah langsung menjadi
suami istri. Sadar akan segala perbuatannya, mereka
berdua menangis menyesali yang telah terjadi. Namun
segalanya telah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Dan hasil dari
segala uraian yang gagal diselesaikan itu adalah
seboah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka
besar dikemudian hari.
Tetapi apapun hasilnya harus dilalui. Resi Wisrawa dan
Dewi Sukesi membeberkan semuanya apa adanya kepada
sang ayah Prabu Sumali. Dengan arif Prabu Sumali
menerima kenyataan yang sudah terjadi. Dan Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi resmi sebagai suami istri, dan
seluruh sayembara ditutup.
Dalam dunia pewayangan
lakon Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dimaksudkan
untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi
tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;
Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi.
Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.
1. Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.
2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.
Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi.
Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.
1. Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.
2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.
3. Sarpokenoko (raksasa
setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak,
rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi
simbol nafsu supiyah.
4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsu mutmainah.
Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.
Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
1. Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.
2. Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3. Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4. Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).
4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsu mutmainah.
Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.
Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
1. Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.
2. Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3. Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4. Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia.
Sastra jendra memiliki
makna sebuah proses kehidupan dan khasanah batin manusia.
Bila cerita itu di lanjutkan sedikit lagi.. maka itulah awal kelahiran dari :
1. Rahwana : yang menggambarkan sifat dari nafsu amarah. Dialah yang lahir terlebih dahulu dari olah asmara dewi sukesi dan begawan wisrawa.
2. Kumbokarno : yang menggambarkan sifat tamak. ato cerminan nafsu aluamah.. sifat yang mengiringi nafsu amarah.
3. Sarpokenoko : menggambarkan nafsu seks. ato lazim di kenal dg nafsu suphiah.
4. Gunawan wibisono: menggambarkan nafsu kebaikan. ato nafsu muthmainah.
Ke empat raksasa ini lah yang selalu menyertai kehidupan manusia. Dengan mengenal dari mana dia berasal, di harapkan manusia mampu membimbing ke 4 raksasa tersebut. Bukan untuk membunuhnya, melainkan merawatnya dengan baik sehingga mampu membawa manusia pada tataran sebagai manusia seutuhnya.
Bila cerita itu di lanjutkan sedikit lagi.. maka itulah awal kelahiran dari :
1. Rahwana : yang menggambarkan sifat dari nafsu amarah. Dialah yang lahir terlebih dahulu dari olah asmara dewi sukesi dan begawan wisrawa.
2. Kumbokarno : yang menggambarkan sifat tamak. ato cerminan nafsu aluamah.. sifat yang mengiringi nafsu amarah.
3. Sarpokenoko : menggambarkan nafsu seks. ato lazim di kenal dg nafsu suphiah.
4. Gunawan wibisono: menggambarkan nafsu kebaikan. ato nafsu muthmainah.
Ke empat raksasa ini lah yang selalu menyertai kehidupan manusia. Dengan mengenal dari mana dia berasal, di harapkan manusia mampu membimbing ke 4 raksasa tersebut. Bukan untuk membunuhnya, melainkan merawatnya dengan baik sehingga mampu membawa manusia pada tataran sebagai manusia seutuhnya.
=RAHAYU=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar