Jumat, 21 Februari 2014

Astha brata dasar kepemimpinan


ASTHA BRATA


            Dalam wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu konsepsi Ilmu Luhur yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa. Yakni ilmu “Hasta Brata” atau dikenal pula sebagai Wahyu Makutha Rama yang diterima Raden Arjuna setelah menjalani “laku” prihatin dengan cara tapa brata dan tarak brata (Lihat : serat Laksita Jati).
            Hasta berarti delapan, brata adalah “laku” atau jalan spiritual/rohani. Hasta Brata maknanya adalah delapan “laku” yang harus ditempuh seseorang bila sedang menjalankan tampuk kepemimpinan. Kedelapan “laku” sebagai personifikasi delapan unsur alamiah yang dijadikan panutan watak (watak wantun) seorang pemimpin. Kedelapan unsur tersebut meliputi delapan karakter unsur-unsur alam yakni : bumi, langit, angin, samudra-air, rembulan, matahari, api, dan bintang. Bila seorang pemimpin bersedia mengadopsi 8 karakter unsur alamiah tersebut, maka ia akan menjadi pemimpin atau raja yang adil, jujur, berwibawa, arif dan bijaksana. Hal ini berlaku pula untuk masyarakat luas, bilamana seseorang dapat mengadopsi ilmu Hasta Brata ia akan menjadi seseorang yang hambeg utama, berwatak mulia, luhur budi pekertinya.
            Hasta Brata, atau Wahyu Makutha Rama merupakan sebuah ilmu yang termasuk bukan ilmu sembarangan. Artinya memiliki makna yang sangat tinggi yang terkandung di dalam prinsip-prinsip hukum alamiah di dalamnya. Dalam cerita pewayangan wahyu Makutha Rama atau dikenal pula sebagai ilmu Hasta Brata pernah berhasil sukses menghantarkan dua tokoh atau dua orang raja besar titisan Bathara Wisnu, yakni Sri Rama Wijaya duduk sebagai raja di kerajaan Ayodya, dan Sri Bathara Kresna adalah raja yang bertahta di kerajaan Dwarawati. Selanjutnya diceritakan Sri Bathara Kresna membuka rahasia ilmu Hasta Brata kepada Raden Arjuna Wiwaha, sebagai saudara penengah di antara Pendawa Lima. Dikatakan bahwa anasir ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa. Inilah antara lain sebagaimana yang saya maksudkan dengan sinergi dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar.
            Kedelapan unsur alam semesta tersebut menggambarkan pula 8 Dewa beserta sifat-sifatnya, seperti di bawah ini :
1)      Mulat Laku Jantraning Bantala (Bumi ; Bethara Wisnu)
2)      Mulat Laku Jantraning Surya (Matahari ; Bethara Surya)
3)      Mulat Laku Jantraning Kartika (Bintang ; Bethara Ismaya)
4)      Mulat Laku Jantraning Candra (Rembulan ; Bethari Ratih)
5)      Mulat Laku Jantraning Tirta (Air ; Bathara Baruna)
6)      Mulat Laku Jantraning Himanda (Langit ; Bathara Indra)
7)      Mulat Laku Jantraning Maruta (Angin ; Bathara Bayu)
8)      Mulat Laku Jantraning Agni (Api ; Bethara Brahma)

1) Watak Bumi (Hambeging Kisma)
            Digambarkan watak Bethara Wisnu sebagai karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan segalanya dan suka berderma. Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah seseorang yang memiliki sifat kaya hati. Dalam terminologi Jawa kaya hati disebut sabardrono, ati jembar, legawa dan lembah manah. Rela menghidupi dan menjadi sumber penghidupan seluruh makhluk hidup. Bumi secara alamiah juga berwatak melayani segala yang hidup. Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin tidak kagetan dan gumunan, sebaliknya bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi tanpa harus merubah unsur-unsur tanahnya. Maknanya, sekalipun seseorang bersifat mudah adaptasi atau fleksibel namun tidak mudah dihasut, tak mempan diprovokasi, karena berbekal ketenangan pikir, kebersihan hati, dan kejernihan batinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan perubahan.
            Bumi juga selalu menempatkan diri berada di bawah menjadi alas pijakan seluruh makhluk. Artinya seseorang yang bersifat bumi akan bersifat rendah hati, namun mampu menjadi tumpuan dan harapan orang banyak. Sifat tanah berlawanan dengan sifat negatif api. Maka tanahlah yang memiliki kemampuan efektif memadamkan api. Api atau nar, merupakan ke-aku-an yang sejatinya adalah “iblis” yakni tiada lain nafsu negatif dalam diri manusia. Seseorang yang bersifat bumi atau tanah, tidak akan lepas kendali mengikuti jejak nafsu negatif.

            Bumi dalam hukum adi kodrati memiliki prinsip keseimbangan dan pola-pola hubungan yang harmonis dan sinergis dengan kekuatan manapun. Namun demikian, pada saat tertentu bumi dapat berubah karakter menjadi tegas, lugas dan berwibawa. Bumi dapat melibas kekuatan apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum keseimbangan alam. Seseorang yang memiliki watak bumi, dapat juga bersikap sangat tegas, dan mampu menunjukkan kewibawaannya di hadapan para musuh dan lawan-lawannya yang akan mencelakai dirinya. Akan tetapi, bumi tidak pernah melakukan tindakan indisipliner yang bersifat aksioner dan sepihak. Karena ketegasan bumi sebagai bentuk akibat (reaksi) atas segala perilaku disharmoni.

2) Watak Matahari (Hambeging Surya)
            Matahari bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak matahari akan selalu menjadi penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara Surya. Mampu menyirnakan segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di manapun ia akan selalu memberikan pencerahan kepada orang lain. Matahari juga menghidupi segala makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat matahari menjadi penghangat suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka bumi akbiat kegelapan dan kedinginan. Seseorang yang berwatak matahari, ia menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai penuntun, guru, pelindung sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke arah kemajuan peradaban yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang berwatak matahari, ia akan konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora kagetan (tidak mudah terkaget-kaget), ora gumunan (tidak gampang heran akan hal-hal baru dan asing).
            Seseorang watak matahari ibarat perjalanan matahari yang berjalan pelan dalam arti hati-hati tidak terburu-buru (kemrungsung), langkah yang pasti dan konsisten pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan (istikomah). Lakuning srengenge, seseorang harus teguh dalam menjaga tanggungjawabnya kepada sesama. Tanggungjawabnya sebagai titah (khalifah) Tuhan, yakni menetapkan segala perbuatan dan tingkah laku diri ke dalam “sifat” Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui; maka kita sebagai titah Tuhan hendaknya terus-menerus berusaha mencari ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya agar ilmu tersebut bermanfaat untuk kemajuan pradaban manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang konstruktif untuk kemaslahatan semua orang dan menjaga kelestarian alam sekitarnya.
3) Watak Bintang (Hambeg Kartika)
            Kartika atau bintang berwatak selalu mapan dan tangguh, walaupun dihempas angin prahara (sindhung riwut) namun tetap teguh dan tidak terombang-ambing. Sebagaimana watak Bathara Ismaya, dalam menghadapi persoalan-persoalan besar tidak akan mundur selangkahpun bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara Ismaya adalah tertata, teratur, dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih, dan menuntun orang yang sedang mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di antara kegelapan. Seseorang yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki cita-cita, harapan dan target yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya untuk diri sendiri namun juga orang banyak. Maka sebutan sebagai “bintang” selalu dikiaskan dengan suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi bintang akan memperindah kegelapan langit di malam hari. Orang yang berwatak bagai bintang akan selalu menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan.

4) Watak Rembulan (hambeg Candra)
            Candra atau rembulan, berwatak memberikan penerang kepada siapapun yang sedang mengalami kegelapan budi, serta memberikan suasana tenteram pada sesama. Rembulan membuat terang tanpa membuat “panas” suasana (dapat ikannya, tanpa membuat keruh airnya). Langkah rembulan selalu membuat sejuk suasana pergaulan dan tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri (rahsaning karep). Watak rembulan menggambarkan nuansa keindahan spiritual yang mendalam. Selalu eling dan waspadha, selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada harmonisasi dan keselarasan terhadap hukum alam (arab; kehendak ilahi/musyahadah). Lakuning rembulan, seseorang mampu “nggayuh kawicaksananing Gusti” artinya mampu memahami apa yang menjadi kehendak (kebijaksanaan) Sang Jagadnata. Setelah memahami, lalu kita ikuti kehendak Tuhan menjadi sebuah “laku tapa ngeli” artinya kita hanyutkan diri pada kehendak Ilahi. Witing klapa salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.
            Orang yang berwatak rembulan, selalu mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang tampak dalam berbagai “bahasa” alam sebagai pertanda kebesaran Tuhan. Bulan purnama menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang indah sekali. Orang-orang tua dan anak-anak zaman dahulu selalu bersuka ria saat merayakan malam bulan purnama. Karena menyaksikan keindahan malam bulan purnama, bagai membaca “ayat-ayat” Tuhan, mampu menggugah kesadaran batin dan akal-budi manusia akan keagungan Tuhan. Sayang sekali kebiasaan itu sudah dianggap kuno, kalah dengan hiburan zaman modern yang kaya akan tawaran-tawaran hedonis. Bahkan secara agama, kebiasaan merayakan “padhang mbulan“ oleh orang-orang tertentu dianggap sebagai tradisi yang sia-sia karena tidak menimbulkan pahala. Padahal bulan purnama memiliki khasiat lain sebagai media terapi lahir dan batin di saat terjadi berbagai kegelisahan jiwa. Sinar bulan purnama sangat baik untuk mengobati segala macam penyakit dengan cara menjemur diri di bawah sinar bulan purnama. Apalagi disertai dengan semedi sebagai wahana olah raga dan olah rasa. Itulah mengapa leluhur kita zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya bulan purnama.

5) Watak Air (Hambeg Tirta)
            Mengambil sisi positif dari watak maruta. Tirta atau air berwatak selalu rendah hati dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin (bawa) atau andhap asor. Selalu menempatkan diri pada tempat yang rendah, umpama perilaku dinamakan rendah hati (lembah manah) dan sopan santun (andhap asor). Orang yang berwatak air akan selalu rendah hati, mawas diri, bersikap tenang, mampu membersihkan segala yang kotor. Air selalu mengalir mengikuti lekuk alam yang paling mudah dilalui menuju samodra. Air adalah gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan pada kodrat Tuhan. Air tidak pernah melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan yang mendaki ke arah gunung, meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air, perbuatannya selalu berada pada kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh selalu diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi. Sehingga watak air akan membawa seseorang menempuh jalan kehidupan dengan irama yang paling mudah, dan pada akhirnya akan masuk kepada samodra anugrah Tuhan Yang Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak air bah, tsunami, lampor, rob, yang melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang yang menerjang wewaler, religi, tatanan sosial, tata krama, hukum positif, serta hukum normatif.
            Berwatak air, akan membawa diri kita dalam sikap yang tenang, tak mudah stress, tidak mudah bingung, tidak gampang kagetan, lemah-lembut namun memiliki daya kekuatan yang sangat dahsyat. Sikap kalem tidak bertabiat negatif. Namun hati-hatilah karena orang sering merasa sudah mengikuti watak air, namun tidak menyadari yang diikuti adalah air bah, maknanya adalah watak cenderung membuat kerusakan, diburu-buru, tanpa perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang penting gasak dulu, urusan dipikir dibelakang (pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).

6) Watak Langit (Hambeg Himanda)
            Himanda atau langit. Bersifat melindungi atau mengayomi terhadap seluruh makhluk tanpa pilih kasih, dan memberi keadilan dengan membagi musim di berbagai belahan bumi. Watak langit ini relatif paling sulit diterapkan oleh manusia zaman sekarang, khususnya di bumi nusantara ini. Seorang pemimpin, negarawan, politisi, yang mampu bersikap tanpa pilih kasih dan bersedia mengayomi seluruh makhluk hidup, merupakan tugas dan tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di tengah kondisi politik dan kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari benarnya sendiri, mencari untungnya sendiri, dan mencari menangnya sendiri. Tidak jarang seseorang, atau wakil rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan partainya saja, bukan kepentingan bangsa.
            Bahkan anggota legislatif, pimpinan masyarakat, para aktor intelektual, pemuka spiritual terkadang tak menyadari sedang mengejar kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompoknya saja. Orang-orang di luar diri atau kelompoknya dianggap tidak penting untuk diayomi. Orang yang berbeda peristilahan, bahasa, budaya, adat istiadat, dan tradisi sekalipun sebangsa dan setanah air, tetap saja diasumsikan sebagai orang yang tak perlu di bela dan dilindungi. Bahkan orang-orang tersebut dianggap sesat, pembual, pembohong, penipu. Prasangka-prasangka negatif ini sangat bertentangan dengan watak akasa. Himanda atau langit akan melihat secara gamblang beragamnya persoalan kehidupan di muka bumi ini. Kewaskitaan himanda seumpama mata satelit, ia akan menyaksikan bahwa ternyata di atas bumi ini terdapat ribuan bahkan jutaan jalan spiritual menuju satu titik yang sama, meskipun jalan yang ditempuh sangat beragam dan berbeda-beda. Maka watak langit tak suka menyalahkan orang lain, tak suka menghujat sesama, tak suka memaki dan mengumpat sekalipun terhadap orang yang memusuhinya. Itulah watak langit, sebagaimana terdapat pada Bethara Indra. Justru terhadap semua manusia apapun watak, dan bagaimanapun sikapnya Bethara Indra akan selalu ngemong sesama, mampu mengelola watak mengalah, mampu menahan diri, meredam emosi, dan membimbing seluruh makhluk hidup dengan cara yang penuh dengan kasih sayang. Dalam manajemen perilaku Jawa, sikap ini selalu diutamakan terutama dalam pasamuan, bebrayan (bermasyarakat), pertemuan, diskusi, dan dalam berbagai pergaulan. Maka watak Jawa menuntut perilaku hambeg utama, lumuh banda, luhur dalam budi pekerti atau solah (perilaku jasad) dan bawa (perilaku batin).
            Sedangkan terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada pernah mempermalukan dan meremehkan. Itulah watak Bathara Indra, sebagai watak akasa atau langit. Sayang sekali, watak ini sudah terkena polusi “watak asing” yang menjadikan seseorang tidak canggung mencaci orang lain yang berada di luar kelompoknya, dan menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya. Salah satu sikap, bila ingin mengaplikasi watak Bathara Indra, bilamana kita berangkat dengan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan yang kita kuasai seumpama sebutir debu yang beterbangan, maka kita tak akan pernah memiliki watak merasa paling benar dan pandai. Karena rahasia ilmu yang terdapat di jagad raya ini adalah sebanyak debu yang ada di seluruh alam semesta.

7) Watak Angin (Hambeg Maruta)
            Maruta atau angin atau udara. Mengambil sisi positif dari watak angin Bathara Bayu. Angin memiliki watak selalu menyusup di manapun ada ruang yang hampa, walau sekecil apapun. Angin mengetahui situasi dan kondisi apapun dan bertempat di manapun. Kedatangannya tidak pernah diduga, dan tak dapat dilihat. Seseorang yang berwatak samirana atau angin, maknanya adalah selalu meneliti dan menelusup di mana-mana, untuk mengetahui problem-problem sekecil apapun yang ada di dalam masyarakat, bukan hanya atas dasar kata orang, katanya, konon, jare, ceunah ceuk ceunah. Watak angin mampu merasakan apa yang orang lain rasakan (empati), orang berwatak angin akan mudah simpati dan melakukan empati. Watak angin sangat teliti dan hati-hati, penuh kecermatan, sehingga seorang yang berwatak angin akan mengetahui berbagai persoalan dengan data-data yang cukup valid dan akurat. Sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan setiap ucapannya dapat dipertanggungjawabkan.

8) Watak Api (Hambeg Agni)

            Agni atau api atau dahana. Yang diambil adalah sisi positif dari watak api yakni Bathara Brahma. Watak api adalah mematangkan dan meleburkan segala sesuatu. Seorang yang mengambil watak api akan mampu mengolah semua masalah dan kesulitan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga. Ia juga bersedia untuk melakukan pencerahan pada sesama yang membutuhkan, murah hati dalam mendidik dan menularkan ilmu pengetahuan kepada orang-orang yang haus akan ilmu. Mematangkan mental, jiwa, batin sesama yang mengalami stagnansi atau kemandegan spiritual. Api tidak akan mau menyala tanpa adanya bahan bakar. Maknanya seseorang tidak akan mencari-cari masalah yangbukan kewenangannya. Dan tidak akan mencampuri urusan dan privasi orang lain yang tidak memerlukan bantuan. Api hanya akan melebur apa saja yang menjadi bahan bakarnya. Seseorang mampu menyelesaikan semua masalah yang menjadi tanggungjawabnya secara adil (mrantasi ing gawe). Serta tanpa membeda-bedakan mana yang mudah diselesaikan (golek penake dewe), dan tidak memilih berdasarkan kasih (pilih sih) , memilih berdasarkan kepentingan pribadinya (golek butuhe dewe).

7 komentar:

  1. terimakasih atas ilmunya:) sangat bermanfaat untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

    BalasHapus
  2. terimakasih atas ilmunya:) sangat bermanfaat untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Jagat Nuswantoro wis ketok jembar padang sanget kahyangane

    BalasHapus